Author : Cerita RakyatTidak ada komentar
Syekh Siti Jenar sebenarnya tergolong guru mistik yang brilian. Dia guru mistik sejati yang mengerti beragam hal. Dia termasuk dikenal sebagai guru sekaligus wali yang menyebarkan Islam Jawa di tanah Jawa secara kontekstual.
Dasar penyampaian ajarannya adalah realita, karena itu dalam beragam perihal tersedia yang sesuai dengan keadaan Jawa. Karena itu, dikala Ki Ageng Pengging tidak senang sowan ke Demak Bintara sebagai pembangkangan atas ajaran Siti Jenar, peristiwa ini masih perlu ditinjau lagi.
Bukankah di dalam karya berjudul Syekh Siti Jenar itu, Ki Ageng Tingkir termasuk udah mengingatkan secara politis terhadap tindakan Ki Ageng Pengging??
Dalam kaitan itu, Ki Ageng Pengging sebenarnya menjadi manusia bebas. Ia hidup di bumi Tuhan, bukan bumi Demak. Paham semacan ini, kecuali dipahami secara politis pasti akan keliru.
Paham ini perlu diterjemahkan dari faktor mistis bahwa hakikat hidup sebenarnya kebebasan itu. Manusia bebas hidup di mana saja. Manusia bebas menentukan apa saja, sejauh dalam kerangka Tuhan. Kalau begitu apakah pandangan Ki Ageng Pengging atau Ki Kebo Kenanga itu salah?
Tokoh yang pada awalnya tergores mistis dalam syair Semut Ireng lantas tersedia baris berbunyi : kebo bongkang nyabrang kali Bengawan (kerbau besar yaitu Kebokenangan yang menyeberang ke sebelah barat Majapahit), sebenarnya mulia.
Dia pernah lari dari Majapahit, karena tak senang ikuti ajaran yang disampaikan Sabdopalon dan Nayagenggong.
Itulah sebabnya, dengan ikuti mengerti Siti Jenar, Ki Kebo Kenanga tidak was-was menghadapi dampak hidup. Hidup bagi dia adalah pilihan. Kematian bagi dia bukan perihal yang sengsara, jikalau perlu terima hukuman mati.
Bahkan menurut dia, takdir baginya sukar ditunda. Bagi dia, yang tetap dikendalikan Yang Maha Kuasa. Biarpun utusan Demak datang, dia tidak was-was menhadapi bahaya. Karena, di situlah dia berjuang untuk hidup. Dalam perjuangan itu, kecuali selesai tugas kejiwaannya akan segera lagi ke alam aning anung yaitu alam bahagia, tentram, abadi.
Yang menarik lagi dari pandangan dia adalah persoalan studi (berbudaya). Jika hewan berdasarkan insting, manusia Jawa ikuti guru. Dalam pandangan Islam Jawa, setidaknya tersedia empat macam guru:
Guru Ujud, yaitu seorang guru biasa, layaknya guru di sekolah, guru mengaji, dsb.
Guru Pituduh, yaitu guru yang bertugas berikan petunjuk kepada murid-muridnya.
Guru Sejati, yaitu guru yang mengerti hakikat hidup. Guru ini akan mengajarkan bagaimana menempuh jalan kematian, kesempurnaan, kelepasan.
Guru Purwa, yaitu guru yang tertinggi. Ia ibarat manifestasi Tuhan. Dia mengerti kodrat dan iradatnya.
Tampaknya, Syekh Siti Jenar meletakkan dirinya terhadap guru sejati dan guru purwa. Hal ini tampak terhadap pembahasan tentang kematian dia.
Masalah sistem dan makna kematian, dideskripsikan dari faktor psikologi Islam Jawa.
Proses kematian dan maknanya ditinjau dari faktor kehidupan kejiwaan (psikologi Jawa), manusia perlu melepas nafs (napas), napas adalah batin (rasa) yang keluar masuk dalam raga.
Artikel Terkait
Posted On : Kamis, 04 April 2019Time : April 04, 2019