Author : Cerita RakyatTidak ada komentar
Pada suatu disaat sementara Kanjeng Sunan Kalijogo berjumpa dengan Kanjeng Nabi Khidir.
Kanjeng Nabi Khidir berhenti sejenak, lalu bicara “ Matahari berlainan dengan Bulan “,
perbedaannya terdapat terhadap cahaya yang dipancarkannya sudahkah hidayah iman menjadi di dalam dirimu?
Tauhid adalah pengetahuan penting untuk menyembah terhadap Allah, juga makrifat kudu kita miliki untuk paham kejelasan yang terlihat, ya ru’yat ( menyaksikan dengan mata telanjang ) sebagai saksi terdapatnya yang keluar dengan nyata.
Maka berasal dari itu kita dalami karakter berasal dari Allah, karakter Allah yang sesungguhnya, Yang Asli, asli berasal dari Allah.
Sesungguhnya Allah itu, allah yang hidup.
Segala afalnya (perbuatanya) adalah bersal berasal dari Allah. Itulah yang demaksud dengan ru’yati.
Kalau hidupmu selamanya kamu menggunakan ru’yat, maka itu namanya khairat (kebajikan hidup).
Makrifat itu cuma tersedia di dunia. Jauhar awal khairat (mutiara awal kebajikan hidup), sudah sukses kau dapatkan.
Untuk itu secara tidak langsung sudah kamu sudah meraih pengawasan kamil (penglihatan yang sempurna). Insan Kamil (manusia yang sempurna) berasal berasal dari Dzatullah (Dzatnya Allah).
Sesungguhnya ketetapan ghaib yang tersurat, adalah kehendak Dzat yang sebenarnya. Sifat Allah berasal berasal dari Dzat Allah. Dinamakan Insan Kamil jika paham keberadaan Allah itu. Bilamana tidak tercantum namamu, di di dalam nuked ghaib insan kamil, itu bukan berarti tidak tersurat.
Ya, itulah yang dinamakan puji budi (usaha yang terpuji). Berusaha memperbaiki hidup, akan menjadikan kehidupan nyawamu makin baik. Serta badannya, akan disebut badan Muhammad, yang mendapat kesempurnaan hidup”.
Syekh Malaya bicara lemah lembut, “mengapa sampai tersedia orang mati yang dimasukkan neraka? Mohon penjelasan yang sebenarnya”.
Kanjeng Nabi Khidir bicara dengan tersemyum manis, “Wahai Malaya! Maksudnya begini.
Neraka jasmani juga berada di di dalam dirimu sendiri, dan yang diperuntukkan bagi siapa aku yang belum mengenal dan mencontoh laku Nabiyullah.
Hanya ruh yang tidak mati. Hidupnya ruh jasmani itu sama dengan karakter hewan, maka akan dimasukkan ke di dalam neraka.
Juga yang mengikuti bujuk rayu iblis, atau yang mengikuti nafsu yang merajalela seenaknya tanpa terkendali, tidak mengikuti arahan Gusti Allah SWT.
Mengandalkan pengetahuan saja, tanpa memperdulikan sesama manusia keturunan Nabi Adam, itu disebut iman tadlot.
Ketahuilah bahwa umat manusia itu juga badan jasmanimu. Pengetahuan tanpa guru itu, ibarat orang menyembah tanpa paham yang disembah.
Dapat jadi kafir tanpa diketahui, dikarenakan yang disembah kayu dan batu, tidak paham apa hukumnya, itulah kafir yang akan masuk neraka jahanam.
Adapun yang dimaksudkan Rud Idhafi adalah suatu hal yang kelak selamanya kekal sampai akhir nanti kiamat dan selamanya berbentuk ruh yang berasal berasal dari ruh Allah.
Yang dimaksud dengan cahaya adalah yang memancar terang serta tidak berwarna, yang selamanya meserangi hati penuh kewaspadaan yang selamanya mawas diri atau introspeksi mencari kekurangan diri sendiri serta menyiapkan akhir kematian nanti.
Merasa sebagai anak Adam yang kudu mempertanggungjawabkan segala perbuatan.
Ruh Idhafi seudah tersedia sebelum tercipta. Syirik itu dapat terjadi, tergantung sementara menerima suatu hal yang ada, itulah yang disebut Jauhar Ning.
Jauhar awal adalah mutiara ibaratnya. Mutiara yang indah penghias raga agra keluar menarik. Mutiara akan kelihatan indah menawan.
Bermula berasal dari ibarat ketujuh, disaat mendengarkan sabda Allah, maka Ruh Idhafi akan menyesuaikan, yang terdapat di di dalam Dzat Allah Yang Mutlak.
Ruh serba psrah kepada Dzatullah, itullah yang dimaksudkan Ruh Idhafi. Jauhar awal itu pula, yang menimbulkan Shalat Daim.
Shalat Daim tidak kudu mengunakan air wudhu, untuk bersihkan khadas tidak disyaratkan. Itulah shalat batin yang sebenarnya, diperbolehkan makan tidur syahwat maupun buang kotoran, demikianlah tadi cara shalat Daim.
Perbuatan itu juga hal terpuji, yang sekaligus merupakan perwujudan syukur kepada Allah. Jauhar tadi bersatu padu menyingkirkan suatu hal yang menutupi atau mempersulit paham keberadaan Allah Yang Terpilih.
Adanya itu menujukkan terdapatnya Allah, yang tidak mungkin jika tidak berbentuk sebelumnya.
Kehidupan itu layaknya layar dengan wayangnya, sedang wayang itu tidak paham warna dirinya. Akibat junub sudah bersatu erat selamanya bersih badan jisimmu.
Adapun Muhammad badan Allah. Nama Muhammad tidak dulu pisah dengan nama Allah. Bukakah hidayah itu kudu diyakini? Sebagai pengganti Allah? Dapat pula disebut utusan Allah.
Nabi Muhammad juga juga badan mukmin atau orang yang beriman. Ruh mukmin persis pula dengan Ruh Idhafi di dalam keyakinanmu. Disebut iman maksum, jika sudah mendapat ketetapan sebagai panutan jati. Bukankah demikianlah itu pengetahuanmu?
Kalau tidak hidup begitu, berarti itu sama dengan hewan yang tidak paham terdapatnya suatu hal di era yang sudah lewat.
Kelak, dikarenakan tidak paham ke-Islaman, maka matinya tersesat, kufur serta kafir badannya namun bagi yang sudah meraih pelajaran ini, segala masalah dipahamilebih seksama baru dikerjakan, Allah itu tidak berjumlah tiga yang jadi suri tauladan adalah Nabi Muhammad.
Bukankah sebenarnya orang kufur itu, mengingkari empat kasus prinsip. Di antaranya bingung dikarenakan tidak ada pedoman manusia yang dapat diteladani.
Kekafiran mendekatkan terhadap kufur kafir. Fakhir dekat dengan kafir. Sebabnya dikarenakan kafir itu, buta dan tuli tidak paham berkenaan surga dan neraka. Fakhir tidak akan mendekatkan terhadap Tuhan.
Tidak mungkin terwujud pendekatan ini, tidak menyembah dan memuji, dikarenakan kekafirannya. Seperti itulah jika fakhir terhadap Dzatullah. Dan sebenarnya Gusti Allah, mematikan kefakhiran manusia, kepastianny tersedia di tanga Allah semata-mata.
Adapun wujud Dzatullah itu, tidak tersedia stu makhluk pun yang paham jika Allah sendiri. Ruh Idhafi menimbulkan iman. Ruh Idhafi berasal berasal dari Allah Yang Maha Esa, itulah yang disebut iman tauhid. Meyakini terdapatnya Allah juga terdapatnya Muhammad sebagai Rasulullah.
Tauhid hidayah yang sudah tersedia padamu, menyatu dengan Tuhan Yang Terpilih. Menyatu dengan Gusti Allah, baik di dunia maupun di akhirat. Dan kamu kudu menyatu bahwa Gusti Allah itu tersedia di dalam dirimu.
Ruh Idhafi tersedia di di dalam dirimu. Makrifat itu sebutannya. Hidupnya disebut Syahadat, hidup tunggal di dalam hidup. Sujud rukuk sebagai penghiasnya. Rukuk berarti dekat dengan Tuhan Pilihan. Penderitaan yang selamanya menyertai menjelang ajal tidak akan berlangsung padamu, jangan risau hadapi sakaratil maut.
Jangan ikut-ikutan risau menjelang pertemuanmu dengan Allah. Perasaan risau itulah yang disebut dengan sekarat.
Ruh Idhafi tidak akan mati. Hidup mati, mati hidup. Akuilah sedalam-dalamnya bahwa keberadaanmu itu, berlangsung dikarenakan Allah itu hidup dan menghidupi dirimu, dan menghidupi segala yang hidup.
Sastra Alif (huruf alif) kudu dimintakan penjelasannya terhadap guru. Jabar jer-nya pun kudu berani ada masalah payah mendalaminya. Terlebih ulang poengetahuan berkenaan kafir dan syirik! Sesungguhnya seluruh itu, tidak dapat dijelaskan dengan tepat maksud sesungguhnya.
Orang yang menyatakan syariat itu berarti sudah meraih anugrah karakter Gusti Allah. Sebagai layanan pengabdian hamba kepada Gusti Allah. Yang mobilisasi shalat sebenarnya raga.
Raga yang shalat itu terdorong oleh terdapatnya iman yang hidup terhadap diri orang yang menjalankannya. Seandainya nyawa tidak hidup, maka Lam Tamsyur (maka tidak akan menolong) seluruh kelakuan yang dijalankan.
Secara yang tersurat, shalat itu adalah kelakuan dan kehendak orang yang menjalankan, namun sebenarnya Allah-lah yang berkehendak atas hambanya. Itulah hakikat berasal dari Tuhan penciptanya.
Ruh Idhafi berada di tangan orang mukmin. Semua ruh berada di tangan-Nya. Yaitu terdapat terhadap Ruh Idhafi. Ruh Idhafi adalah karakter jamal (sifat yang bagus atau indah) keindahan yang berasal Dzatullah.
Ruh Idhafi nama sebuah tingkatan (maqom), yang tersimpan terhadap diri utusan Allah (Rasulullah). Syarat jisim lathif (jasad halus0 itu, kudu selamanya hidup dan tidak boleh mati.
Cahayanya berasal berasal dari ruh itu, yang konsisten menerus meliputi jasad. Yang mengisayaratkan karakter jalal (sifat yang perkasa) dan sekaligus mengisyaratkat terdapatnya karakter jamal (sifat keindahan). Jauhar awal mayit (mutiara awal kematian) itu, berikan isyarat hilangnya diri ini.
Setelah seluruh menemui kematian di dunia, maka akan berubah hidup di akherat. Kurang lebih tiga hari perubahan hidup itu pasti terjadi. Asal mula manusia terlahir, berasal dari terdapatnya Ayah, Ibu serta Tuhan Yang Maha Pencipta. Satu kelahiran berasal berasal dari tiga asal lahir.
Ya, itulah isyarat berasal dari tiga hari. Setelah dititipkan sepanjang tujuh hari, maka dikembalikan kepada yang meninipkan (yang berikan amanat).
Titipan itu kudu layaknya sedia kala. Bukankah tauhid itu sebagai srana untuk makrifat? Titipan yang ketiga puluh hari, itu juga juga juga titipan, yang tersedia cuma kemiripan dengan yang tujuh hari. Kalau menangis mengeluarkan air mata dikarenakan menyesali sewaktu tetap hidup.
Seperti teringat semasa kehidupan itu berasal berasal dari Nur. Yang mana cahayanya mewujudkan dirimu. Hal itulah yang menimbulkan perasaan sedih dan penyesalan yang berkepanjangan. Tak jika siapun yang merasakan itu semua, sebagaimana kamu mati, aku menjadi kehilangan.
Mati atau hilang bertepatan hari kematian yang keempat puluh hari. Bagaimanakah yang lebih tepat untuk menggambarkan persamaan sesama makhluk hidup secara keseluruhannya? Allah dan Muhammad semuannya berjumlah satu.
Seratuspun dapat diekspresikan layaknya satu bentuk, layaknya diasumsikan dengan terdapatnya cahaya yang bersember berasal dari cahaya Muhammad yang sesungguhnya.
Sama hal terhadap sementara kamu memohon sesuatu. Ruh jasad hilang di dalamnya, kehadirat Tuhan Yang Maha Pemberi. Tepat terhadap hari keseribu, tidak tersedia yang tertinggal.
Kembalinya terhadap allah sudah di dalam keaadaan yang sempurna. Sempurna layaknya mula pertama di dalam keadaan yang sempurna. Sempurna layaknya mula pertama diciptakan”.
Syekh Malaya terang hatinya, mendengarkan pelajaran yang baru di terima berasal dari gurunya Syekh Mahyuningrat Kanjeng Nabi Khidir.
Syekh Malaya bahagia hatinya agar beliu belum rela keluar berasal dari di dalam tubuh Kanjeng Nabi Khidir. Syekh Malaya menghaturkan sembah, sambil bicara manis layaknya gula madu. “Kalau begitu hamba tidak rela keluar berasal dari raga di dalam tuan. Lebih nyaman di sini saja yang bebas berasal dari sengsara derita, tidak ada selera makan tidur, tidak menjadi ngantuk dan lapar, tidak kudu bersusah payah dan bebas berasal dari rasa pegal dan nyeri.
Yang menjadi sekedar rasa nikmat dan manfaat”. Kanjeng Nabi Khidir memperingatkan, “yang demikianlah tidak boleh jika tanpa kematian”.
Kanjeng Nabi Khidir makin iba kepada pemohon yang meruntuhkan hatinya.
Kata Kanjeng nabi Khidir, “kalau begitu yang awas sajalah terhadap halangan upaya. Jangan sampai kau kembali. Memohonlah yang benar dan waspada. Anggaplah jika sudah kau kuasai, jangan cuma digunakan dengan dasar misalnya ingat saja, dikarenakan hal itu sebagai rahasia Allah.
Tidak diperkenankan mengobrol kepada sesama manusia, jika tanpa seizin-Nya! Sekiranya akan tersedia yang mempersolakan, memperbincangkan kasus ini! Jangan sampai terlanjur! Jangan sampai membanggakan diri! Jangan pikirkan terhadap gangguan, cobaan hidup! Tapi justru terimalah dengan sabar! Cobaan hidup yang menuju kematian, ditimbulkan akibat buah pikir.
Bentuk yang sebenarnya ialah tersimpan rapat di di dalam jagadmu! Hidup tanpa tersedia yang menghidupi jika Allah saja.
Tiada antara lamanya berkenaan terdapatnya itu. Bukankah sudah berada di tubuh? Sungguh, dengan lainnya selamanya tersedia dengan kau! Tak mungkin terpisahkan! Kemudian tidak dulu memberitahunakan darimana asalnya dulu. Yang menyatu di dalam gerak perputaran bawana.
Bukankah berita sebenarnya sudah tersedia padamu? Cara mendengarnya adalah denga ruh sejati, tidak menggunakan telinga. Cara melatihnya, juga tanpa dengan mata. Adpun telingannya, matanya yang diberikan oleh allah.
Ada padamu itu. Secara batinnya tersedia terhadap sukma itu sendiri. Memang demikianlah penerapannya. Ibarat layaknya batang pohon yang dibakar, pasti tersedia asap apinya, menyatu dengan batang pohonnya. Ibarat air dengan alunnya. Seperti minyak dengan susu, tubuhnya dikuasai gerak dan kata hati.
Demikian pun dengan Hyang Sukma, misalnya kita paham wajah hamba Tuhan dan sukma yang kita kehendaki ada, diberitahu akan tempatnya layaknya wayang ragamu itu. Karena datanglah segala gerak wayang.
Sedangkan panggungnya jagd. Bentuk wayang adalah sebagai wujud badan atau raga. Bergerak misalnya digerakkan. Segala-galanya tanpa kelihatan jelas, kelakuan dengan ucapan. Yang berhak pilih semuanya, tidak kelihatan wajahnya.
Kehendak justru tanpa wujud di dalam bentuknya. Karena sudah tersedia terhadap dirimu. Permisalan yang paham disaat berhias.
Yang berkaca itu Hyang Sukma, adapun bayangan di dalam kaca itu ialah dia yang bernama manusia sesungguhnya, terbentuk di di dalam kaca.
Lebih besar ulang pengetahuan berkenaan kematian ini dibandingkan dengan kesirnaan jagad raya, dikarenakan lebih lembutseperti lembunya air. Bukankah lebih lembut kematian manusia ini? Artinya lembut kesirnaan manusia? Artinya lebih dari, dikarenakan pilih segalanya. Sekali ulang berarti lembut ialah terlalu kecilnya.
Dapat berkenaan yang kasar dan yang kecil. Mencakup seluruh yang merangkak, melata tidak ada bedanya, terlalu serba lebih. Lebih pula di dalam menerima perintah dan tidak boleh mengandalkan terhadap ajaran dan pengetahuan.
Karena itu bersungguh-sungguhlah menguasainya. Pahamilah liku-liku solah tingkah kehidupan manusia! Ajaran itu sebagai ibarat benih sedangkan yang diajari ibarat lahan.
Misal kacang dan kedelai. Yang disebar di atas batu. Kalau batunya tanpa tanah terhadap sementara kehujanan dan kepanasan, pasti tidak tidak akan tumbuh.
Tapi misalnya kau bijaksana, melihatmu musnahkanlah terhadap matamu! Jadikanlah penglihatanmu sukma dan rasa. Demikian pula wujudmu, suaramu.
Serahkan ulang kepada yang Empunya suara! Justru kau cuma mengakui saja sebagai pemiliknya. Sebenarnya cuma mengatasnamai saja. Maka berasal dari itu kau jangan miliki tradisi yang menyimpang, jika cuma kepada Hyang Agung. Dengan demikianlah kau Hangraga Sukma. Yaitu kata hatimu sudah bulat menyatu dengan kawula Gusti.
Bicarakanlah manurut pendapatmu! Bila pendapatmu terlalu meyakinkan, misalnya tetap merasakan sakit dan was-was, berarti kejangkitan bimbang yang sebenarnya. Bila sudah menyatu di dalam satu wujud. Apa kata hatimu dan apa yang kau rasakan. Apa yang kau pikir terwujud ada. Yang kau cita-citakan tercapai.
Berarti sudah benar untukmu. Sebagai upah atas kesanggupanmu sebagai khalifah di dunia. Bila sudah paham dan menguasai amalan dan pengetahuan ini, hendaknya makin teliti dan teliti atas berbagai masalah.
Masalah itu satu daerah dengan pengaruhnya. Sebagai ibaratnya seketika pun tak boleh lupa. Lahiriah kau landasilah dengan pengetahuan empat hal.
Semuanya tanggapilah secara sama. Sedangkan kelimanya adalah dapat tersimpan dengan baik, berguna di mana saja! Artinya mati di di dalam hidup. Atau sama dengan hidup di di dalam mati. Ialah hidup abadi. Yang mati itu nafsunya.
Lahiriah badan yang merintis mati. Tertimpa terhadap jasad yang sebenarnya. Kenyataannya satu wujud. Raga sukma, sukma muksa.
Jelasnya mengalami kematian! Syekh Malaya, terimalah hal ini sebagai ajaranku dengan bahagia hatimu! Anugrah berbentuk wahyu akan datang kepadamu. Seperti bulan yang diterangi cahaya temaram. Bukankah turnya wahyu meninggalkan kotoran? Bersih bening, hilang kotorannya”.
Kemudian Kanjeng Nabi Khidir bicara dengan lembut dan tersenyum. “Tak tersedia yang dituju, seluruh sudah tercakup haknya. Tidak tersedia yang diinginkan dengan keprawiraan, kesaktian seutuhnya sudah berlalu. Toh seutuhnya itu alat peperangan”. Habislah sudah arahan Kanjeng Nabi Khidir.
Syekh Malaya menjadi sungkan sekali di di dalam hati. Mawas diri ke di dalam dirinya sendiri. Kehendak hati rasanya sudah mendapat arahan yang cukup. Rasa batinya menjelajah jagad raya tanpa sayap.
Keseluruh jagad raya, jasadnya sudah terkendali. Menguasai hakekat seluruh ilmu. Misalnya bunga yang tetap lam kuncup, sekarang sudah mekar berkembang dan baunya semerbak mewangi. Karena sudah mendapat san Pancaretna, kemudian Sunan Kalijaga disuruh kelura berasal dari raga Kanjeng Nabi Khidir ulang ke alamnya semula”.
Lalu Kanjeng Nabi Khidir berkata, “He, Malaya. Kau sudah di terima Hyang Sukma. Berhasil menyebarkan aroma Kasturi yang sebenarnya. Dan rasa yang memanaskan hatimu pun lenyap. Sudah menjelajahi seluruh permukaan bumi.
Artinya godaan hati ialah rasa qonaah yang makin dimantapkan. Ibarat memakai busana sutra yang indah. Selalu mawas diri. Semua tingkah laku yang halus. Diserapkan kedalam jiwa, dirawat layaknya emas.
Dihiasi dengan keselamatan, dan dipajang layaknya permata, agar paham akan keinginan berbagai tingkah laku manusia. Perhaluslah budi pekermu atau akhlak ini! Warna hati kita yang sedang mekar baik, sering dinamakan Kasturi Jati. Sebagai menandakan bahwa kita tidak gampang goyah, terhadap gerak-gerik, sikap hati yang menghendaki capai suatu hal tanpa ilmu, menghendaki mendalami berkenaan ruh itu justru keliru.
Lagi pula secara penataan, kita itu ibaratnya busana yang dipakai sebagai kerudung. Sedangkan yang kuncir kepala sebagai sarungmu. Kemudian terlibat ingatan disaat dulu. Ibarat mendalami mati disaat berada di di dalam rongga ragaku.
Tampak oleh Sunan Kalijaga cahaya. Yang warnanya merah dan kuning itu, sebagai halangan yang menghadang agar gagal usaha atauu ikhtiar atau cita-citanya.
Dan yang putih di sedang itulah yang sebenarnya kudu diikuti. Kelimanya kudu selamanya diwaspadai. Kuasailah seketika jangan sampai lupa! Bisa dipercaya sifatnya. Berkat kesediaanku berbuat sebagai penyekat.
Untuk alat pembebas karakter berbangga diri. Yang selamanya didambakan siang dan malam. Bukankah aku banyak sekali menempel atau paham caranya pemuka agama yang ternyata salah di dalam penafsiran.
Dan penyampaian keterangannya? Anggapannya sudah benar. Tak tahunya malah mematikan pengertian yang benar. Akibatnya terperosok di dalam penerapannya. Ada pemuka agama yang ibaratnya jadi murung.
Ia cuma sekedar mencari daerah bertengger saja. Yaitu terhadap batang kayu yang baik rimbun, lebat buahnya, kuat batangnya. Untuk kemuliaan hidup baru.
Ada orang yang berkedudukan, tersedia yang ikut orang kaya. Akhirnya di masyarakatkan. Ibaratnya layaknya sekedar meraih kemuliaan sepele. Jadinya tersesat-sesat. Ada pula yang justru miliki jalan terpaksa.
Artikel Terkait
Posted On : Jumat, 12 April 2019Time : April 12, 2019