Author : Cerita RakyatTidak ada komentar
Sepeninggal ayahnya, Ki Ageng Mataram, Senopati Sutawijaya melakukan ritual tapa brata, tirakat dan laku prihatin untuk mewujudkan ramalan Sunan Giri tentang akan berdirinya Kerajaan Islam Mataram yang bakal dipimpin anak turun bekas abdi penguasa Pajang Joko Tingkir alias Sultan Hadiwijaya itu.
Suatu malam, ia bertirakat di atas batu besar di tengah kali opak. Dan saat tertidur, antara sadar dan tidak sadar, ia kejatuhan pulung, disaksikan Ki Juru Martani. Pulung yang menyebutkan bahwa ia kelak akan menjadi raja hingga anak cucunya, tapi Mataram akan jatuh di era cicitnya.
Nah, itu berarti kerajaan Islam Mataram akan segera lahir, kemudian dan akhirnya runtuh dari keturunan Ki Ageng Mataram sendiri. Wangsit kekuasaan yang tampak semakin ekat itu, tentu perlu segera disambut. Dan atas saran Ki Juru Martani, mreka pun berbagi tugas. Senopati akan sowan ke penguasa Laut Kidul, sementara Ki Juru Martani akan bersilaturahmi ke penguasa Merapi.
Dalam perjalanan menuju Segara Kidul, Senopati Sutawijaya melakukan tapangeli alias menghanyutkan diri di atas arus air. Dan dengan mengkatkan tubuhnya pada sebuah papan kayu jati tua, tunggul wulung, Sutawijaya membiarkan tubuhnya terbawa arus Kali Opak hingga sampai di Laut Kidul.
Di hilir kali opak, dia naik di atas ikan olor yang dulu pernah si selamatkannya dari seorang nelayan.begitu sampai di laut kidul, Senopati Sutawijaya berdiri tegak di tepian ombak lautan kidul itu.
Datanglah ombak besar, badai dan angina menderu yang membuat gelombang setinggi gunung datang menerjang.selama tujuh hari tujuh malaam badai itu berlangsung. Senopati Sutawijaya tetap tegar berdiri melanjutkan tapa~ bratanya. Melihat fenomena alam tersebut, datanglah Sunan Kalijaga.
Ia menasehati sang senopati supaya tidak sombong dengan kesaktiannya. Allah bisa tidak suka dengan manusia sombong. Baik sombong karena kesaktiannya, kekuasaannya, kekeyaan dan kepintarannya. Orang sombong pasti akan jatuh tersungkur ke dalam comberan.
Senopati Sutawijaya pun memahami nasihat Sunan Kalijaga. ia kemudian mengajak Sunan karena ia ingin melihat kemajuan mataram.sasampai di mataram, Sunan menasehati agar senopati sutawijaya membangu pagar rumah sebagai bentuk ketawakalan kepada Allah. Ia juga menyarankan agar Sutawijaya membuat pagar bumi jika hendak mendirikan rumah.
Selain itu, ia juga mengimbau agar rakyat Mataram membuat batu bata sebagai bahan membangun kota raja.. ini menunjukan roh kerajaan Mataram yang semakin nyata.
Sunan Kalijaga kemudian mengambil tempurung berisi air. Dituangkanlah air itu seraya berkeliling dan berdzikir. Sang Sunan berpesan “kelak jika engkau membangun kota, maka ikutilah tuangan airku ini.” Setelah itu, ia pun pamit.
Hari-hari tersu berganti, dan pmbangkangan Senopati Sutawijaya terhadap Pajang pun semakin menjadi. Ini tentu saja membuat Sultan Pajang makin gusr.
Beberapa bulan kemudian, ia mengutus putranya, Pangeran Benawa, ke Mataram dengan didampingi Patih Mancanegara dan Adipati Tuban. Tujuannya untuk mencari tahu sikap Senopati Sutawijaya yang sesungguhnya. Dan dengan dikawal 100 prajurit Pajang dan 100 prajurit Tuban, tiga utusan Pajang itu pun tiba di Mataram.
Rencana kedatangan ketiga utusan Sultan Pajang itu pun tercium oleh Senopati Sutawijaya. Rupanya Senopati punya mata-mata di Pajang, yaitu seorang abdi bernama Ki Pangalasan. Ia sudah tiba di Mataram sebelum tiga utusan Pajang itu sampai.
Senopati Sutawijaya pun siap menyambut utusan Pajang dengan meriah. Ia pun membawa 100 prajurit Mataram dan dua gajah untuk menyambut rombongan Pajang di Randu Lawang.
Ringkas cerita, kedua pihak pun bertemu dalaam sebuah jamuan yang sangat istimw yang disediakn oleh Senopati Sutawijaya. . Dalam pertemuan itu, Benawa meminta keterngan ke pada Senopati Sutawijaya tentang kebenaran pembangunan pagar tinggi sebagai benteng, penanaman beringin kurung di tengah alun-alun, dan pembentukan prajurit Mataram yang kuat. Itu semua, dalam pikiran Pangeran Benawa, merupakan tanda-tanda bagi lahirnya kerajaan baru. Kalau ternyata benar, maka bisa dipastikan bahwa Mataram akan melakukan makar terhadap Pajang.
Namun, berkat kepiawaiannya berbicara, Senopati Sutawijaya berhasil meyakinkan Pangeran Benawa bahwa ia dan Mataram tidak sedang menyiapkan sebuh kerajaan baru, menggatikan Pajang. Untuk menyakinkan Pangeran Benawa, Senopati Sutawijaya mengajak rombongan Pajang ke Mataram.
Begitulah, Senopati Sutawijaya dan Pangeran Benawa pun naik gajah yang telah disiapkan. Mereka menuju Mataram. Jamuan pun berlanjut dengan pesta yang lebih dahsyat. Makan-makanan lezat dhidangkan. Juga minuman keras seperti arak. Tak luput pula wanita-wanita cantik yang siap menghibur dan melyani. Alhsil, uUtusan dan prajurit Pajang pun menjadi lupa tugas pokok mereka datang ke Mataram.
Lihat, Adipati Tuban mulai terkena pengaruh arak. Ia mabuk. Lantaran pengaruh minuan keras itu dia meminta tarian Beaksan Rangin atau juga disebut Beksan Lawung.
Tarian Beksan ini berarti tarian perang dengan menggunakan tombak. Dengan congkak, Adipati Tuban memamerkan kekuatan, menantang Senopati Sutawijaya, tapi tidak dilayani. Putra Sutawijaya, Raden Rangga yang gampang emosi dicegah oleh ayahnya. Adipati Tuban memerintahkan ganti prajurit Tuban yang pamer tarian perang.
Raden Rangga yang terus diprovokasi akhirnya tak betah juga. Dia pun turun gelanganga, beberapa prajurit Tuban mengeroyok. Satu di antara para prajurit itu diremukkan. Melihat hal ini, para utusan Pajang itu kemudian cabut mennggalkan Mataram.
Tetapi inilah yang aneh: Pangeran Benawa hanya melaporkan hal-hal yang baik-baik saja kpada Sultan Hadiwijaya selama berkunjung di Mataram. Meski begitu, Sultan Pajang masih tetap dihantui ramalan Sunan Giri tentang hadirnya kerajaan Islam Mataram dan haancurnya kerjaannya sendiri.
Sumber: W.L. Olthof, Babad Tanah Jawi
Artikel Terkait
Posted On : Rabu, 23 Januari 2019Time : Januari 23, 2019