Author : Cerita RakyatTidak ada komentar
ANTARA tahun 1945-1947 tak terdapat seorang juga yang berani melalui jalur Tagogapu-Padalarang di atas jam 16.00. Pasalnya, dalam waktu itu gerombolan bersenjata mulai beroperasi. Berdasarkan keterangan dari Arnasan (91), kelompok-kelompok binal itu ialah eks semua romusha (pekerja paksa di era bala tentara Jepang berkuasa) yang kembali kembali dari seberang.
“Entah bagaimana mereka lantas menjadi orang-orang jahat yang kerjannya merampok orang-orang yang lewat di distrik Padalarang dan sekitarnya,” ungkap pria yang masa mudanya dikuras untuk berniaga keliling itu.
Khalayak lantas menamakan mereka sebagai garong, yang adalahsingkatan dari campuran romusha ngamuk. Istilah berikut yang sekitar revolusi berkecamuk lumayan mengganggu masyarakat. Mereka tidak hanya dicari oleh pihak ketenteraman Republik tetapi juga dibidik oleh tentara Belanda.
“Para garong ini tidak peduli korbannya orang Republik atau pihak Belanda, sekitar berharta dan berduit maka mereka bakal menyikatnya tanpa ampun,” ujar Arnasan.
Pengalaman Pramoedya
Soal fenomena munculnya garong ini dikonfirmasi oleh penulis berpengalaman Pramoedya Ananta Toer. Dalam suatu karyanya yang berjudul Jalan Raya Pos Jalan Daendels, dia menuturkan empiris pribadinya semasa menjadi seorang prajurit TKR (Tentara Keamanan Rakjat) berpangkat sersan mayor di Resimen Cikampek.
Pram berkisah sebuah hari di akhir tahun 1945, dirinya diutus oleh komandannya Letnan Kolonel Moeffreni Moe’min untuk mengucapkan sepucuk surat untuk seorang komandan di distrik Padalarang mempunyai nama Doejeh. Bisa jadi yang dimaksud oleh Pram sebagai Doejeh ialah Mayor Doejeh Soeharsa, di antara komandan batalyon yang masuk dalam Resimen Cililin.
“Tapi sebagai rendahan, aku mustahil bertemu dengannya. Anak buahnya yang mengucapkan surat yang kubawa. Aku mesti menantikan di luar, ditemani prajurit-prajurit yang lain,” ungkap Pram.
Saat bercengkarama dengan prajurit-prajurit dari Resimen Cililin inilah, Pram mendengar kisah salah seorang dari mereka tentang banyaknya garong merajalela di distrik Padalarang dan sekitarnya (termasuk Cililin). Berdasarkan keterangan dari sang prajurit, semua garong tersebut terdiri dari kelompok-kelompok bersenjata yang tidak bergabung dengan tentara dan laskar atau pihak Belanda.
“Mereka mengerjakan perampokan di mana saja bila dirasakan tak terdapat penjagaan yang kuat,” tulis Pram.
Para garong ini seringkali merampok dengan memakai senjata api pendek. Senapan atau karabin juga digergaji larasnya menjadi pendek dan gampang disembunyikan di balik sarung. “Ketika aku tanya apa dengan kata lain garong, mereka menjawabnya: singkatan dari campuran romusha ngamuk,” ungkap tentara yang lantas banting setir menjadi sastrawan itu.
Kasus Banyumas
Gejala timbulnya garong sebagai eks romusha yang memilih jalan gelap, ternyata terjadi pun di distrik Banyumas. Hal ini diungkap oleh M. Alie Humaedi, seorang peneliti LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) dalam suatu tulisan hasil risetnya berjudul “Gaboengan Romusha Ngamoek: Pertarungan Kekerasan di Kaki Pegunungan Dieng Banjarnegara (1942-1957)”.
Berdasarkan keterangan dari Humaedi, antara tahun 1942-1957, di wilayah-wilayah laksana Kalibening, Karangkobar, Batur, Paweden, Wanayasa, Pekalongan atas dan Wonosobo, hadir kelompok-kelompok penjahat yang dijuluki khalayak sebagai garong. Kendati kepanjangan sama dengan garong yang sedang di Jawa Barat, tetapi para eks romusha yang tercebur bukanlah berasal dari seberang, tetapi romusha lokal.
“Mereka terdiri dari anak-anak muda yang pernah dipekerjakan oleh bala tentara Jepang di distrik keresidenan masing-masing,” ujar Humaedi untuk Historia.
Di distrik keresidenan Banyumas tersebut, garong ialah nama kumpulan yang seutuhnya penjahat. Mereka mengerjakan perampokan untuk siapapun, tanpa pandang bulu, dan bertujuan guna kepentingan individu atau kelompok. Sebagai paradoks dari mereka terdapat yang dinamakan maling suci.
“Berbeda dengan garong, maling suci menjalankan perampokan melulu kepada orang-orang kaya yang dinilai pro Belanda. Mereka juga kerap menyalurkan hasil rampokan mereka untuk orang-orang tak berpunya,” ujar Humaedi.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, definisi garong sendiri ialah perampok atau kawanan pencuri, penyamun. Belum jelas benar apakah istilah itu terbilang baru dalam khazanah bahasa Indonesia. Yang jelas, sebelum revolusi kemerdekaan, kata “perampok” sendiri sering disejajarkan dengan kata “penyamun”.
Artikel Terkait
Posted On : Sabtu, 08 September 2018Time : September 08, 2018