Author : Cerita RakyatTidak ada komentar
ARYA TADAH, patih amangkubhumi Kerajaan Majapahit sedang sakit. Da tak enak hati sebab sering absen menghadap Tribhuwana Tunggadewi. Dia pun mengemukakan pengunduran diri, namun Sang Rani menolak.
Arya mendekati Gajah Mada supaya suka menjadi patih, namun bukan amangkubhumi.
“Seganlah saya. Jika nanti sepulang dari Sadeng, saya baru mau. Maafkanlah segala kekeliruan saya. Mudah-mudahan saya bisa,” jawab Gajah Mada.
“Baiklah anakku, dalam segala kendala kau bakal saya bantu,” janji Arya.
Gajah Mada lantas berangkat ke Sadeng guna memadamkan penentangan terhadap Majapahit. Jika sukses di Sadeng, dia bakal terima tawaran seniornya itu. Namun, betapa sedih hatihnya saat mengetahui pengepungan Sadeng sudah terjadi sebelum kedatangannya.
Ra Kembar melampaui Gajah Mada. Mendengar berita itu, semua menteri dan patih paling marah. Patih amangkubhumi kemudian mengirim duta seorang mantra bareng 30 orang untuk menangkal Kembar dan pasukannya supaya tak menyerbu Sadeng.
Ketika duta datang, Kembar sedang duduk di atas batang kayu di dalam hutan. Posisinya laksana orang mengemudikan kuda. Tangannya membawa cemeti.
Para utusan mengucapkan pesan patih amangkubhumi supaya menghajar Kembar sebab mendahului perintah kerajaan. Bukannya gentar, Kembar justeru memecut dahi duta itu. Untungnya utusan tersebut segera berkelit, bersembunyi di balik batang kayu.
“Kembar tiada takut untuk tuanmu!” kata Kembar.
Mendengar perkataan itu, semua utusan pulang dan mengucapkan ujaran Kembar itu.
Untuk menghindari sengketa antara Kembar dan Gajah Mada yang sedang kecewa, Sang Rani datang ke Sadeng memimpin tentara Majapahit. Kemenangan atas Sadeng juga akhirnya terdaftar atas nama Sang Rani.
Nagarakrtagama melulu mencatat sepintas bahwa penentangan di Sadeng terjadi pada 1253 Saka atau 1331 M. Serat Pararaton menulis tahun yang sama lewat candrasangkala, kaya bhuta non daging dengan kata lain seperti raksasa menyaksikan daging.
Dalam Nagarakrtagama, peristiwa Sadeng dibulatkan dengan peristiwa di Keta. Sementara dalam Pararaton penundukan Keta tak disebut-sebut sama sekali.
Hal yang sama dijumpai dalam perkabaran tentang penumpasan penentangan Nambi dan Wiraraja di Pajarakan dan Lumajang. Penumpasan itu dilaksanakan dalam rentetan dan dirasakan sebagai satu peristiwa saja.
Berdasarkan keterangan dari arkeolog Agus Aris Munandar, baik Sadeng maupun Keta terdapat di distrik Besuki. Dalam Gajah Mada Biografi Politik, Agus menjelaskan saat Gajah Mada diminta jadi patih oleh Arya Tadah, dia sudah berkedudukan sebagai Patih Daha (Kadiri), di antara wilayah sangat penting Majapahit. Hayam Wuruk sebelum jadi raja, bisa jadi ditunjuk oleh ibunya guna memimpin distrik itu.
“Dia sangat barangkali ditunjuk sebagai penguasa Daha dan didampingi oleh Gajah Mada,” tulis Agus.
Adapun Kembar menurut keterangan dari Agus punya dalil kenapa menyerang Sadeng melampaui Gajah Mada. Dia bercita-cita pun menjadi patih amangkubhumi menggantikan Arya Tadah.
Namun, pada kesudahannya tetap Gajah Mada yang diusung sebagai patih amangkubhumi. Sementara Kembar menjadi bekel (koordinator) semua mantra araraman (kekuatan bersenjata pemukul musuh). Para pahlawan Majapahit lainnya, laksana Jaranbhaya, Jalu, Demang Buncang, Gagak Minge, Jenar, Arya Rahu, dan Lembu Peteng menjadi pejabat setingkat tumenggung.
Setelah menjadi patih, Gajah Mada mengucap Sumpah Palapa di balairung istana di hadapan semua pembesar Majapahit. Namun, mantan patih Arya Tadah justeru mengoloknya. Dia bareng Jabung Tarewes, Lembu Peteng, Kembar, dan Warak, menertawakannya.
Gajah Mada tak terima kemudian ke halaman istana menantang Kembar yang congkak. Dalam perkelahian, Gajah Mada menewaskan Kembar. Begitu pun Warak, Jabung Tarewes dan Lembu Peteng.
“Dengan demikian melewati sumpah tersebut Gajah Mada sudah membuka jalan mempersatukan Nusantara,” tegas Agus.
Artikel Terkait
Posted On : Kamis, 20 September 2018Time : September 20, 2018