Author : Cerita RakyatTidak ada komentar
Bagi sampeyan yang suka nonton wayang tentu ingat ketika babak goro-goro akan dimulai, di mana ada salah satu jineman atau tetembangan yang menggambarkan semangat bocah bajang ini. Baitnya seperti ini, “bocah bajang nggiring angin, anewu banyu segoro, ngon ingone kebo dhungkul, sa sisih sapi gumarang”, yang kemudian disusul munculnya punokawan semar.
Sederhana memang bait tetembangan di atas, namun sejatinya cukup filosofis. Ya, dalam ketidaksempurnaannya, si anak bajang mempunyai cita-cita yang kuat untuk menguras samudara seperti pada bait anewu banyu segara.
Ada kebodohan dalam diri si anak bajang yang sekaligus juga mempunyai kepintaran dan keberanian, hal ini digambarkan dalam bait jineman ngon ingone kebo dhungkul, sa sisih sapi gumarang. Kebo dhungkul itu artinya kerbau yang bodoh. Sedangkan pasangannya, sapi pintar yang bertanduk panjang dan cukup mempunyai keberanian.
Nah, sekarang kita kembali ke dunia nyata. Terlepas kita percaya atau tidak percaya, karena tulisan ini tidak hendak membahas tentang perdebatan, anak bajang ternyata bukan hanya ada dalam jagad pewayangan sepeti di atas.
Di kehidupan nyata, anak bajang pun ada. Hanya saja, tidak sembarang orang bisa melihatnya secara kasat mata. Karena yang jelas dunia anak bajang berada di dunia alam gaib.
Dalam kepercayaaan tradisional masyarakat Jawa, anak bajang ini adalah berasal dari janin yang luruh akibat keguguran atau sengaja digugurkan dengan aborsi.
Eksistensi janin yang gugur atau digugurkan inilah yang kemudian sering menimbulkan gangguan terhadap orang tuanya atau orang yang dianggapnya bisa mewakili sebagai orang tuanya.
Kepercayaan tradisional masyarakat Jawa meyakini, janin yang gugur atau sengaja digugurkan itu, sebenarnya tidak mati. Mereka memiliki kehidupannya sendiri, setelah terlahir di dunia dalam keadaan tidak bernyawa.
Bahkan, mereka ini akan terus tumbuh dan berkembang sebagai bagian dari entitas gaib yang spesifik. Kalaupun toh kemudian si anak bajang ini suka mengganggu, bisa jadi adalah bentuk protes terhadap orang tua yang telah tega dan menyia-nyiakannya. Biarpun tidak nampak, mereka tetap hidup selayaknya hidup di dunia nyata, setidaknya demikianlah kepercayaan orang Jawa jaman dulu. Selanjutnya semua tergantung pada kita untuk menyikapinya. Nuwun.
Sumber akarasa.com
Artikel Terkait
Posted On : Senin, 17 Desember 2018Time : Desember 17, 2018