Author : Cerita RakyatTidak ada komentar
Pertempuran 10 November dipantik oleh kematian seorang perwira tinggi Inggris, Brigadier Aubertin Walter Sothern Mallaby, pada 30 Oktober 1945 di depan Gedung Internatio. Chotib mempercayai ayahnyalah yang dengan pistolnya menembuskan timah panas ke arah Mallaby sampai tewas.
Kejadiannya dilangsungkan petang hari. Suasana di dekat Internatio amat ricuh walau sebelumnya Presiden Sukarno, sebagaimana dikutip Kronik Revolusi Indonesia I: 1945, telah menyepakati penghentian tembak-menembak antara Inggris sebagai perwakilan Sekutu dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan unsur-unsur pemuda serta rakyat.
Mallaby bareng rombongan Biro Kontak Indonesia serta semua pemimpin Surabaya, laksana Residen Soedirman dan Ketua Komite Nasional Indonesia (KNI) Doel Arnowo, merapat ke Internatio selepas dari Lindeteves guna memberi keterangan penghentian kontak senjata.
Baca juga: Kisah semua pemuda di palagan Surabaya yang bertindak dengan senjata-senjata berat
Tapi saat rombongan telah masuk gedung, Mallaby sedang di dalam mobil lantaran semua pemuda Indonesia menghendaki perunding Inggris diwakili perwira muda (Kapten Shaw). Tiba-tiba, lemparan granat hadir dari dalam gedung. Suasana yang tenang sontak pulang ramai oleh letusan senjata dari luar gedung.
Begitu baku tembak tersebut reda, sekira pukul 20.30 malam, Mallaby melihat suasana dengan melongok dari dalam mobil. Abdul Azis yang tergabung di Pemuda Rakyat Indonesia (PRI) langsung mendekat mobil yang ditumpangi Mallaby dan dua perwira Inggris beda lalu mencungkil tembakan.
“Seorang Indonesia datang ke jendela (dekat, red.) Brigadir dengan senapan. Dia mencungkil empat tembakan ke kami bertiga,” tulis Kapten RC Smith, yang terdapat di mobil itu, dalam laporannya yang dilansir JGA Parrott dalam “Who Killed Brigadier Mallaby”, dimuat di Jurnal Indonesia 20 Oktober 1975. “Butuh masa-masa 15 detik sampai setengah menit untuk Brigadir guna benar-benar tewas.”
Muhammad Chotib, putra Abdul Azis yang menarik keluar nyawa Brigadier AWS Mallaby (Foto: Randy Wirayudha/Historia)
“Jadi setelah tersebut dia lapor ke Cak Doel Arnowo. ‘Wes Cak. Wes tak beresno! (Sudah cak, telah saya bereskan!’,” tutur Chotib menirukan kisah ayahnya ketika melapor ke Arnowo.
“’Apane diberesno? Sing Iku (Mallaby)? Ngawur ae kon! (Apanya yang dibereskan? Yang tersebut (Mallaby)? Ngawur saja kamu!’ Lha ya kena marah dia (Abdul Azis) sama Doel Arnowo,” sambung Chotib.
Meski sampai kini melulu segelintir orang yang mengetahuinya, penjelasan Chotib dipercayai otentik oleh peneliti sejarah yang pun pendiri Roodebrug Soerabaia, Ady Erlianto Setyawan. “Klaim (Abdul Azis) tersebut relatif kuat,” kata Ady ketika dihubungi Historia. Penulis kitab Benteng-Benteng Surabaya dan Surabaya: Di Mana Kau Sembunyikan Nyali Kepahlawananmu? tersebut yakin lantaran klaim Abdul Azis via penuturan Amak Altuwy, jurnalis keturunan Arab yang pun saksi mata, tersebut diutarakan saat semua pelaku Pertempuran 10 November masih hidup.
Baca juga: Banyak figur terlupakan dalam perang terdahsyat yang dirasakan Inggris selepas Perang Dunia
“Kalau dia (klaim Abdul Azis) bohong, tentu tokoh-tokoh macam Ruslan Abdulgani yang pun ada di TKP ketika Mallaby terbunuh bakal buka suara. Dan orang selevel Brigjen Barlan Setiadijaya enggak bakal memasukkan kisah tersebut ke dalam kitab dia (10 November 1945: Gelora Kepahlawanan Indonesia) yang isinya studi tentang peperangan Surabaya yang sangat-sangat komprehensif,” tandas Ady.
Doel Arnowo menyuruh Azis tutup mulut soal penembakan itu. “Bukan sebab takut dirasakan penyebab Pertempuran Surabaya, tapi sebab memang telah janjinya pada Doel Arnowo guna tidak bicara soal itu,” tambah Chotib yang sekarang ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Ampel itu
Artikel Terkait
Posted On : Senin, 19 November 2018Time : November 19, 2018