Hukum Mencela Allah, Rasul-Nya dan Syari'at-Nya

Author : Cerita RakyatTidak ada komentar

Di zaman yang modern ini siapa saja yang menegakkan syari’at Islam dengan 
sungguh-sungguh maka dia akan terasing, karena memang sunnah-sunnah 
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam terasa aneh dan asing di zaman yang 
tersebar fitnah dan maksiat ini.

Memanjangkan jenggot dibilang jenggot naga atau jenggot kambing, 
mengangkat kain di atas mata kaki dibilang kebanjiran, 
memakai cadar dibilang ninja hatori dan sebagainya. 
Demikianlah apa yang dialami oleh 
orang-orang yang menegakkan sunah-sunah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam.

Yang sangat disayangkan, ternyata yang mencela tersebut adalah kaum Muslimin 
sendiri, karena mereka menganggapnya sebagai hal yang sepele. Padahal ini adalah 
suatu perkara yang besar. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’aala mengampuni 
mereka atas kebodohan mereka tersebut. 

Berkata Al-Khatthabi rahimahullah : ”Aku tidak mengetahui adanya perselisihan (tentang 
orang yang mencela) wajib untuk dibunuh jika dia (si pencela) seorang Muslim.” 

Berkata Ibnu Qudamah  rahimahullah : “Barang siapa mencela Allah Subhanahu wa Ta’aala maka 
dia telah kafir, sama saja apakah denganbergurau atau sungguh-sungguh. Demikan 
pula (sama hukumnya dengan) orang yangmengejek Allah Subhanahu wa Ta’aala 
atau ayat-ayat-Nya atau Rasul-Nya ataukitab-kitab-Nya…(Al-Mughni X/103). 

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah  rahimahullah : “Jika dia (si pencela) seorang Muslim, maka telah terjadi ijma’ bahwa dia wajib dibunuh,karena dia telah menjadi kafir yang 
murtad disebabkan (celaan tersebut), dan dia lebih buruk daripada orang kafir (yang 
bukan murtad). Karena seorang kafir (yang bukan murtad) mengagungkan Rabb 
tetapi meyakini agama bathil sebagai  kebenaran, namun tidak (melakukan) 
pengolok-olokan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’aala dan pencelaan terhadap-Nya. 
(Ash-Sharimul Maslul, hal 546). 

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menukil perkataan Imam Ahmad  rahimahullah : “Barang siapa yang menyebut sesuatu yang mengejek Allah Subhanah wa Ta’ala maka wajib dibunuh, baik dia Muslim atau kafir. Inilah pendapatpenduduk Madinah.” (As-Sharim al-Maslul hal. 558).

Beliau juga menukil perkataan Imam Ahmad  rahimahullah : “Siapa saja memaki Nabi 
Shallallahu 'Alaihi Wasallam, baik Muslim atau kafir maka dia wajib dibunuh.” (asSharim al-Maslul hal. 558).

DALIL-DALIL DARI AL-QUR’AN DAN SUNNAH BAHWA ORANG YANG 
MENCELA ALLAH, RASUL-NYA ATAU AGAMA-NYA WAJIB DIBUNUH 
1. Firman Allah, yang artinya: 
Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), 
tentulah mereka akan menjawab: “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau 
dan bermain-main saja.” Katalanlah: “apakah dengan Allah ayat-ayat-Nya dan 
Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok? Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu 
telah kafir sesudah beriman.” (at-Taubah: 65-66). 

2. Hadits yang berkaitan dengan turunnya ayat dari at-Taubah di atas yaitu: 
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar radiallahu ‘anhu dengan rangkuman sebagai 
berikut: “Bahwasanya pada waktu perang Tabuk, ada seseorang yang berkata: 

“Kami belum pernah melihat (orang-orang) yang semacam para ahli membaca alQur’an kita ini, (orang-orang) yang lebih rakus terhadap makanan, lebih dusta 
lisannya dan lebih pengecut dalam  peperangan –maksudnya Rasulullah 
Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan para shahabat yang ahli membaca al-Qur’an-. 
Maka berkatalah ‘Auf bin Malik kepadanya: Kamu telah berdusta, bahkan kamu 
adalah Munafiq. Sesungguhnya aku akan laporkan kepada Rasulullah Shallallahu 
'Alaihi Wasallam “. Lalu pergilah ‘Auf kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi 
Wasallam untuk memberitahukan hal tersebut kepada beliau. Tetapi dia 
mendapati al-Qur’an telah mendahuluinya (turun kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi 
Wasallam). Ketika orang itu datang kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam 
untuk membe-ritahukan hal tersebut kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi 
Wasallam, beliau telah beranjak daritempatnya dan menaiki untanya. Dia 
berkata kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam : “Ya Rasulullah! 
Sebenarnya kami hanyalah bersenda gurau sebagaimana obrolan orang-orang 
yang pergi jauh sebagai pengisi waktu saja dalam perjalanan kami.” Ibnu Umar 
radiallahu ‘anhu berkata: “Sepertinya aku melihat dia berpegangan pada sabuk 
pelana unta Rasulullah sedang kedua kakinya tersandung-sandung batu sambil 
berkata: “Sebenarnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” 
Lalu Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda kepadanya: 
"Apakah terhadap Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu berolok-olok?”. 
Beliau mengucapkan itu tanpa menengok dan tidak berbicara kepadanya lebih 
dari itu.
(Hadits hasan, riwayat Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim dari Ibnu Umar, dan 
isnad Abi Hatim berderajat Hasan sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Muqbil 
dalam Ash-Shahih al-Musnad hal 71. Berkata ad-Dausari: “Adapun riwayatriwayat, Muhammad bin Ka’ab, Zaid bin Aslam, dan Qatadah adalah mursal 
sebagaimana dikeluarkan oleh Ibnu Jarir). 

3. Dari as-Sya’bi dari Amirul Mukminin Ali radiallahu ‘anhu bahwasanya ada seorang 
Yahudi memaki Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, maka seorang laki-laki 
mencekiknya hingga mati, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam pun 
membatalkan bayar diat (denda) laki-laki tersebut. (Diriwayatkan oleh Abu 
Dawud. Al-Albani berkata dalam IrwaulGhalil mengomentari hadits (1251): 
“Isnadnya shahih sesuai syarat Bukhari Muslim.”) 

TIDAK ADA BEDA ANTARA MAIN-MAIN DAN SENDA GURAU 
Syaikh Muhammad rahimahullah  memasukkan istihza’ (memperolok-olok, mengejek agama) salah satu dari sepuluh pembatal-pembatal Islam. Beliau telah 
menulis sebuah bab dalam kitab Tauhid dengan judul “Barangsiapa yang bersenda 
gurau dengan sesuatu yang berkaitan dengan dzikir kepada Allah, al-Qur’an, dan 
Rasul”. 

Syaikh ‘Utsaimin  rahimahullah menerangkan makna hazl yaitu mengejek dan memperolok-olok dengan maksud bermain-main dan tidak serius (bersungguh-sungguh). (al-Qaul alMufid 3) 

Hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’aala dalam surat atTaubah dan hadits Ibnu ‘Umar radiallahu ‘anhu di atas ketika mereka yang 
beristihza’ mengatakan: “Sesungguhnya kamihanya bersenda gurau dan bermain.” 
Namun Allah Subhanahu wa Ta’aala tidak menerima alasan mereka, bahkan Allah 
Subhanahu wa Ta’aala berfirman: Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat--Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok? Tidak usah kamu minta maaf, karena 
kamu telah kafir sesudah beriman.” 

BENTUK CELAAN 
DR. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdullah al Fauzan  rahimahullah berkata tentang hal-hal yang 
termasuk pembatal syahadatain: “Siapa yang membenci sesuatu dari ajaran yang 
dibawa oleh Rasulullah sekalipun ia juga mengamal-kannya, maka ia kafir. (Kitab 
Tauhid I (terjemah) hal 62). 

Menurut sebagian ulama diantaranya Syaikh Muhammad  rahimahullah , bahwa 
istihza’ terbagi menjadi dua: 

1. Istihza’ yang Nampak 
Seperti yang dilakukan oleh orang yang mengatakan: “Belum pernah kami 
melihat seperti para ahli membaca al-Qur’an kita ini, orang yang lebih rakus 
terhadap makanan…” sebagaimana dalam hadits Ibnu Umar di atas. Dan juga 
perkataan orang-orang yang mengejek dan menghina penegak amar ma’ruf nahi 
munkar. Misalnya pengejekan terhadap orang-orang yang sedang melaksanakan 
shalat atau orang yang memanjangkan jenggot mereka, atau orang yang makan 
berjama’ah dengan menggunakan shahfah (nampan), mengambil suapan yang 
jatuh dan menjilati tangan, ini semua dan yang semisalnya adalah kekufuran 
yang mengeluarkan pelakunya dari Islam. 

2. Istihza’ yang Tidak Nampak (Tidak Langsung) 
Seperti mengejek dengan isyarat mata atau mengeluarkan lidah, mencibirkan 
bibir, atau dengan isyarat tangan terhadap orang-orang yang sedang membaca 
al-Qur’an atau Hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam atau terhadap 
orang-orang yang sedang melakukan amar ma’ruf nahi munkar. (at-Tanbihat alMukhtasharah hal 73). 

APAKAH DITERIMA TAUBAT DARI ORANG YANG MENCELA ALLAH DAN 
RASUL-NYA 
Berkata Syaikh ‘Utsaimin rahimahullah: ‘Para ulama berselisih, apakah orang yang mencela,

Allah Subhanahu wa Ta’aala dan Rasul-Nya atau kitab-Nya diterima taubatnya? 
Dalam masalah ini ada dua pendapat: 

1. Tidak diterima taubatnya, (ini adalah pendapat yang masyhur dikalangan 
Hambali) tetapi dia (si pencela tersebut) dibunuh dalam keadaan kafir. Dia tidak 
dishalatkan, tidak pula dido’akan rahmat baginya. Dia dikubur di tempat yang 
jauh dari pekuburan kaum Muslimin, walaupun dia mengatakan bahwa dia sudah 
taubat atau mengaku bersalah.  Sebab menurut madzhab Hambali, 
kemurtadannya tersebut merupakan perkara yang besar sehingga taubatnya tidak 
bermanfaat. 

2. Sebagian ulama berpendapat bahwa taubatnya diterima jika diketahui bahwa ia 
sungguh-sungguh jujur bertaubat kepadaAllah Subhanahu wa Ta’aala, dan 
mengaku bahwa dirinya telah bersalah. Karena dalil-dalil umum menunjukkan 
diterimanya taubat, 
seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’aala yang artinya: 
Katakanlah: “Wahai hamba-hamba-Ku yangtelah melampaui batas terhadap diri 
mereka sendiri, janganlah kamu berputusasa dari rahmat Allah. Sesungguhnya 
Allah mengampuni dosa-dosa semuanya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha 
Penyayang”. (az-Zumar: 53) 

Pendapat yang kedua ini adalah benar, hanya saja orang yang mencela Rasulullah 
Shallallahu 'Alaihi Wasallam diterima taubatnya namun tetap wajib dibunuh. Hal ini 
berbeda dengan orang yang mencela Allah Subhanahu wa Ta’aala yang diterima 
taubatnya dan tidak dibunuh. Bukan berarti karena hak Allah Subhanahu wa Ta’aala 
berada di bawah hak Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, bahkan karena Allah 
Subhanahu wa Ta’aala akan mengkabarkan kepada kita bahwa Allah Subhanahu wa 
Ta’aala akan memaafkan hamba-Nya yang bertaubat karena Allah Maha 
mengampuni seluruh dosa. 

LARANGAN DUDUK DENGAN ORANG-ORANG YANG BERISTIHZA’ 
Wajib bagi kita untuk meninggalkan para pencela yang sedang mengejek dan 
memperolok-olokkan syari’at Allah Subhanahu wa Ta’aala dan Rasul-Nya, meskipun 
mereka adalah keluarga terdekat kita. Kita tidak bermajelis dengan mereka sehingga 
tidak termasuk golongan mereka. 

Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam al-Qur’an bahwa 
apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olok, maka 
janganlah kamu duduk bersama mereka (yang mengolok-olok tersebut), sehingga 
mereka memasuki pembicaraan lain. Karena sesungguhnya (jika kamu berbuat 
demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. (An-Nisaa’:140). 

Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olok ayat-ayat Kami maka 
tinggalkanlah sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika 
setan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini) maka janganlah kamu duduk 
bersama orang-orang yang zhalim itu sesudah teringat akan larangan itu. (al-An’am: 
68. 

Seseorang yang mendengar ayat-ayat Allah Subhanahu wa Ta’aala sedang dihina 
dan diperolok-olokkan oleh sekelompok orang, namun dia duduk-duduk dan ridha 
dengan mereka, maka dia sama dengan mereka, baik dosa maupun kekafiran. (atTanbihat al-Mukhtasar hal 74). 

PERINGATAN 
Apa yang telah kami sebutkan di atas tentang kafirnya orang yang mencela atau 
beristihza’ terhadap Allah, Rasul-Nya atau syari’at-Nya tidaklah berlaku umum bagi 
setiap orang yang melakukan istihza’ atau pencelaan. Karena masalah pengkafiran 
adalah masalah yang sangat besar. Jika kita mendengar ada seseorang yang telah 
melakukan istihza’ atau pencelaan, hendaklah kita menasehati dan menjelaskan 
kepadanya bahwa apa yang dilakukannya itu adalah hal yang sangat berbahaya. 
Atau dengan kata lain kita terlebih dahulu menegakkan hujjah kepadanya. Jangan 
sampai kita sembarang mengkafirkan saudara kita.

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda: 
Barang siapa yang memanggil sese-orang dengan kekafiran atau berkata: “wahai 
musuh Allah”, dan ternyata tidak benar, maka perkataan itu) kembali padanya. 
(HSR. Bukhari dan Muslim). 

Jika kita telah menasehati dan menjelaskan kepadanya lantas ia bertaubat, maka 
alhamdulillah. 

Namun jika ia tetap beristihza’ dan mencela, maka hendaknya kita 
kembalikan masalah pengkafirannya kepadapara ulama’. 
Jangan sampai kita gegabah dan ceroboh. 
Wallahu a’lamu bis shawab. 

Maraji’: 
Kitab Tauhid I (terjemah) karya DR. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al Fauzan. 
Majalah As-Sunnah Edisi 09/Th.IV/1421-2000. Hal.36-43 

Artikel Terkait

Posted On : Rabu, 06 Agustus 2014Time : Agustus 06, 2014
SHARE TO :
| | Template Created By : Binkbenks | CopyRigt By : Cerita Rakyat | |
close
Banner iklan disini
> [Tutup]