Author : Cerita RakyatTidak ada komentar
Zaman penjajahan Jepang di Indonesia, dapat dibilang menjadi di antara episode sangat kelam dalam perjalanan sejarah bangsa. Tak melulu berkutat pada front pertempuran. Dendam individu yang merangsang amarah pun, sering menjadi pembenaran guna saling bunuh di masa itu. Pendek kata, zaman Jepang adalahera yang paling buruk untuk Indonesia.
Salah satunya yang dikisahkan oleh Huri Prasetyo. Salah seorang veteran berusia 91 tahun. Ia mengisahkan, bagaimana pergulatannya melawan tentara Jepang, dilangsungkan sangat brutal dan berdarah-darah. Saat peritiwa tersebut terjadi, Huri masih berusia 19 tahun. Bersama dengan kawannya yang mempunyai nama Sayuto, ia berencana mengerjakan penyerangan terhadap tentara Jepang. #trobek17an
Sayuto sendiri adalah mantan tentara sukarela Pembela Tanah Air (Peta), yang paling disegani di kalangan pemuda Indonesia, pun ditakuti oleh tentara Jepang. Persahabatan erat antara dua-duanya terjalin sesudah Huri sukses menyelamatkan Sayuto yang terluka di peperangan Lawang Sewu. Saat itu, Jepang sedang menganiaya pemuda Indonesia sampai tewas. Setelah pulih, Huri lantas dipilih menemani Sayuto. Membawa sebilah Katana guna memerangi Jepang.
“Ada 3 pedang (Katana) yang ditinggal Jepang di depan garis. Ini saya yang bawa, Sayuto ini yang menebas,” ujar Huri sembari menunjuk potret Sayuto di dokumen piagam Peta..
Suatu ketika, pasukan Kidobutai Jepang mengerjakan pemenggalan terhadap 3 pemuda Indonesia di Pasar Jatingaleh. Harapannya, persitiwa keji tersebut dapat menciptakan rakyat Indonesia ketakutan dan menghentikan penyerangan. Bukannya kapok, urusan tersebut malah menciptakan rakyat meningkat marah. Tak terkecuali Sayuto dan Huri. Dilatarbelakangi dengan dendam, pemuda haus darah itupun ganti meneror orang-orang Jepang di Indonesia.
“Jepang pikir dengan adanya pemuda dibabat itu penduduk jadi takut, bukan. Justru semakin kemropok (marah). Teman saya itu, Sayuto bilang, Jepang iso sadis, opo aku yo ora iso sadis (Jepang dapat sadis, apa saya tidak dapat sadis). Sasaran kesatu dokter Jepang,” ujarnya yang dikutip dari news.detik.com.
Korban dari pihak Jepang juga mulai berguguran satu persatu. Masih segar dalam memori Huri. Saat itu, dirinya sedang sedang di toko kaca Jalan Bojong (sekarang Jalan Pemuda). Ada tiga orang Jepang yang datang sembari merangkak sesudah diteriaki oleh Sayuto dalam bahasa mereka. Sesampainya di hadapan kedua pemuda itu, Sayuto langsung unik pedang yang dipegang Huri dan membabat kaki ketiga penduduk Jepang tersebut tanpa ampun. #trobek17an
“Jadi, saya ini memegang pedangnya (katana), bila Sayuto unik pedangnya, saya pegang sarungnya ini. Saya tidak pernah nebas, bila nembak iya namun kena atau tidak ya tidak tahu,” pungkas kakek 13 cucu tersebut yang dikutip dari news.detik.com.
Tak lumayan disitu, empat anggota pasukan Kidobutai juga menjadi sasaran amarah Sayuto. Semuanya langsung dipenggal di halaman gedung kesenian Sobokarti. Pendek kata, seluruh Jepang yang lewat dihadapannya, akan ditebas habis. Hingga seusai peperangan 5 hari di Semarang, Sayuto menyerahkan pedangnya tersebut pada Huri. Ia pun mengawal dengan baik warisan sang teman sampai saat ini. Sayuto sendiri akirnya meninggal di umur 85 tahun pada 3 Juni 2007 lalu.
Meski memiliki masa kemudian yang buruk dengan tentara Jepang, Huri sepakat guna menguburnya. Seiring dengan kebebasan Indonesia. Ia tak lagi merasa dendam saat melihat orang-orang Jepang. Untuk dirinya, perdamaian ialah segalanya. Tak jarang, ia tidak jarang dihampiri oleh warga negeri Sakura yang menanyakan cerita pertempuran 5 hari di Semarang. #trobek17an
“Kalau kini sudah tidak marah bila lihat Jepang. Kemarin terdapat orang Jepang datang ke sini tanya-tanya,” tutup Huri sembari menyarungkan katana warisan Sayuto.
Artikel Terkait
Posted On : Sabtu, 27 Oktober 2018Time : Oktober 27, 2018